Senin, 12 September 2022

Karakteristik Pantai Sebagai Tempat Peneluran Penyu Laut

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Green_Sea_Turtle_swimming.jpg

Penyu merupakan kelompok reptil berkarapas yang memiliki umur panjang serta tersebar luas di Samudera Pasifik, Samudera Atlantik dan Samudera Hindia. Penyu memiliki beberapa karakteristik pada pantai yang akan menjadi lokasi peneluran bagi penyu. Pantai yang berpasir tidak semuanya digunakan untuk bertelur, tetapi dipilih oleh penyu dan sesuai dengan karakteristik yang diinginkan untuk dijadikan sebagai pantai tempat peneluran. Rusaknya kawasan pantai kawasan penyu meletakkan telur, perburuan telur, pengambilan telur dan penurunan jumlah telur yang disebabkan predator alami manusia dan mikroba menjadi faktor dalam penurunan jumlah populasi penyu. Berdasarkan kriteria apendiks CITES (Convention on Internasional Trade in Endangered Species) penyu termasuk ke dalam apendiks I yang mengakibatkan penyu telah mengalami penurunan jumlah populasi bahkan beberapa spesies terancam kepunahan.


1.      Karateristik Habitat Peneluran

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Green_sea_turtle_near_Marsa_Alam.JPG

Penyu hidup di dua habitat yang berbeda, yaitu habitat darat dan habitat laut. Habitat laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya (Dahuri, 2003)Sedangkan habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground) bagi penyu betina yang memiliki beberapa karateristik. Habitat untuk bertelur penyu adalah daratan luas dan landai dengan rata-rata kemiringan 30°, dikarena semakin curam pantai akan semakin menyulitkan bagi penyu untuk melihat obyek yang lebih jauh karena penyu hanya mampu melihat dengan baik pada sudut 150° ke bawah. Selain itu penyu biasa meletakkan sarangnya berjarak 30 sampai 80 meter di atas pasang terjauh.

Idealnya, dalam proses peneluran penyu ada beberapa faktor yang dapat mendukung aktivitas tersebut seperti suasana yang sunyi, tidak terdapat penerangan dan tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat mengganggu penyu menuju pantai. Pantai peneluran penyu memiliki persyaratan umum, antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi untuk mencegah telur terendam oleh air pasang, pasir pantai relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini agar telur berada dalam lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik sehingga telur-telur tidak tergenang air selama masa inkubasi (Dharmadi dan Wiadnyana, 2017).

2.  Karateristik Kelembaban Pasir Pantai

https://blog.cwf-fcf.org/index.php/en/threats-to-leatherback-turtles-habitat-loss/

Pasir yang sesuai dengan kelembaban yang tepat mampu menyangga bentuk ruang pada telur. Oleh karena itu, induk penyu akan lebih memilih tempat dengan kelembaban yang tepat (Putra et al., 2014). Lingkungan yang memiliki kelembapan yang rendah atau terlalu kering mengakibatkan persentase kematian lebih tinggi, karena telur penyu sangat sensitif terhadap kekeringan. Persentase menetas lebih tinggi di daerah pasir pantai yang dekat dengan daratan dibandingkan dengan daerah pasir pantai yang dekat dengan laut (80 % : 37%) (Syaiful et al., 2013).

3. Suhu Pasir

Perkembangan suhu secara teratur dan bertahap pada batas-batas suhu 25-35 °C akan menghasilkan laju tetas yang baik dan waktu pengeraman yang relatif singkat. Suhu antara 22-23 °C merupakan batas normal untuk embrionik. Suhu yang diperlukan agar embrio berkembang dengan baik adalah 24-33 °C. Bila suhu di dalam sarang diluar batas suhu tersebut penetasan juga mempengaruhi jenis kelamin tukik yang akan menetas. Bila suhu kurang dari 29 °C, maka sebagian besar adalah tukik jantan. Sebaliknya bila suhu lebih dari 29 °C, maka sebagian besar adalah tukik betina (Yusuf, 2000).

4. Struktur Pasir

Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Penyu akan memilih daerah tempat bertelur yang sesuai dan aman, tekstur pasir berhubungan dengan tingkat kemudahan penyu dalam menggali sarang. Pasir pantai harus memiliki ukuran butir yang sesuai untuk memudahkan sarang dalam kontruksi.  Berdasarkan hasil penelitian dari (Zakyah, 2016) menunjukkan struktur pasir tidak berpengaruh besar terhadap keberhasilan penetasan telur penyu. Keberhasilan penetasan tertinggi diperoleh dari perlakuan pasir dengan ukuran butir pasir sedang (0,25-0,5 mm), yaitu sebesar 100%. Diikuti perlakuan pasir halus (<0,25 mm) sebesar 99%. Keberhasilan penetasan terendah diperoleh dari perlakuan pasir dengan ukuran butir kasar, yaitu sebesar 97,30%.

5. Lebar Pantai Peneluran

G.L. Shillinger, 2008

Lebar pantai tempat peneluran penyu berkisar 30-80 m. Lebar pantai yang tinggi menyebabkan jarak sarang yang dibuat oleh penyu agak menjauh dari batas pasang tertinggi. Meskipun ada lebar pantai yang kurang dari 30 m, namun pada kenyataannya gelombang air laut pada saat pasang tidak sampai menggenangi daerah tempat sarang penyu, sehingga telur akan tetap aman. Jarak sarang yang tidak terlalu dekat dengan air laut akan menjauhkan sarang penyu dari rendaman air laut (Nugroho et al., 2017).

6. Vegetasi Tumbuhan di Pantai

https://pin.it/68yFfsN

Sarang peneluran penyu seringkali ditemukan di bawah naungan vegetasi pantai. Vegetasi dianggap menambah keamanan untuk meletakan telur-telurnya agar terhindar dari predator. Keberadaan vegetasi tumbuhan mempengaruhi masa inkubasi telur penyu yang berada di dalam sarang. Masa inkubasi pada lahan yang terbuka memiliki rata-rata inkubasi lebih singkat yaitu selama 48 hari dibandingkan dengan masa inkubasi pada lahan yang tertutupi oleh vegetasi dengan rata-rata masa inkubasi lebih lama yakni 50-52 hari (Nugroho et al., 2017). Vegetasi pantai secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan penyu untuk bertelur. dikarenakan akar vegetasi yang dapat mengikat butiran pasir dan menghindari terjadinya keruntuhan pasir sehingga akan dapat mempermudah penyu dalam melakukan penggaalian dan proses penelurannya (Pradana et al., 2013). 


Kesimpulan

     Penyu memerlukan tempat lingkungan yang meliputi faktor lingkungan bio-fisik yang baik dan sesuai untuk dijadikan sebagai tempat peneluran penyu seperti mudah dijangkau dari laut, posisi sarang yang cukup tinggi, pasir pantai relatif lepas (loose) dan berukuran sedang, bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik serta pantai yang bersifat landai atau tidak terlalu miring (Satriadi et al., 2003).



Daftar Pustaka

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia: Gramedia Pustaka Utama

Dharmadi D, Wiadnyana NN. 2017. Kondisi Habitat dan Kaitannya Dengan Jumlah Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang Bersarang di Pulau Derawan, Berau-Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 14: 195-204

Nugroho AD, Redjeki S, Taufiq N. 2017. Studi Karakteristik Sarang Semi-Alami Terhadap Daya Tetas Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Paloh Kalimantan Barat.

Pradana FA, Said S, Siahaan S. 2013. Habitat Tempat Bertelur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Kawasan Taman Wisata Alam Sungai Liku Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Jurnal hutan lestari 1

Putra BA, Kushartono EW, Rejeki S. 2014. Studi Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Paloh, Sambas, Kalimantan Barat. Journal of Marine Research 3: 173-81

Satriadi A, Rudiana E, Af-idati N. 2003. Identifikasi Penyu dan Studi Karakteristik Fisik Habitat Penelurannya di Pantai Samas, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ilmu Kelautan 8: 69-75

Zakyah. 2016. PENGARUH STRUKTUR PASIR TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas L.) DI SUKAMADE TAMAN NASIONAL MERU BETIRI SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BUKU ILMIAH POPULER. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Syaiful NB, Nurdin J, Zakaria IJ. 2013. Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz, 1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman. Jurnal Biologi UNAND 2

Yusuf A. 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alam Lestari. Jakarta 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar