Penyu
merupakan kelompok
reptil berkarapas yang memiliki umur panjang serta tersebar luas di Samudera
Pasifik, Samudera Atlantik dan Samudera Hindia. Penyu memiliki beberapa karakteristik
pada pantai
yang akan menjadi
lokasi peneluran bagi penyu. Pantai yang berpasir tidak semuanya digunakan
untuk bertelur, tetapi dipilih oleh penyu dan sesuai dengan karakteristik yang
diinginkan untuk dijadikan sebagai pantai tempat peneluran. Rusaknya kawasan
pantai kawasan penyu meletakkan telur, perburuan telur, pengambilan telur dan
penurunan jumlah telur yang disebabkan predator alami manusia dan mikroba
menjadi faktor dalam penurunan jumlah populasi penyu. Berdasarkan kriteria
apendiks CITES (Convention on
Internasional Trade in Endangered Species) penyu termasuk ke dalam apendiks
I yang mengakibatkan penyu telah mengalami penurunan jumlah populasi bahkan
beberapa spesies terancam kepunahan.
1.
Karateristik
Habitat Peneluran
Penyu hidup di dua habitat yang berbeda, yaitu habitat darat dan habitat laut. Habitat laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya (Dahuri, 2003). Sedangkan habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground) bagi penyu betina yang memiliki beberapa karateristik. Habitat untuk bertelur penyu adalah daratan luas dan landai dengan rata-rata kemiringan 30°, dikarena semakin curam pantai akan semakin menyulitkan bagi penyu untuk melihat obyek yang lebih jauh karena penyu hanya mampu melihat dengan baik pada sudut 150° ke bawah. Selain itu penyu biasa meletakkan sarangnya berjarak 30 sampai 80 meter di atas pasang terjauh.
Idealnya, dalam proses peneluran penyu ada beberapa faktor yang dapat mendukung aktivitas tersebut seperti suasana yang sunyi, tidak terdapat penerangan dan tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat mengganggu penyu menuju pantai. Pantai peneluran penyu memiliki persyaratan umum, antara lain pantai mudah dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi untuk mencegah telur terendam oleh air pasang, pasir pantai relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya lubang sarang pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini agar telur berada dalam lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik sehingga telur-telur tidak tergenang air selama masa inkubasi (Dharmadi dan Wiadnyana, 2017).
2. Karateristik Kelembaban Pasir Pantai
Pasir yang sesuai dengan kelembaban yang tepat mampu menyangga bentuk ruang pada telur. Oleh karena itu, induk penyu akan lebih memilih tempat dengan kelembaban yang tepat (Putra et al., 2014). Lingkungan yang memiliki kelembapan yang rendah atau terlalu kering mengakibatkan persentase kematian lebih tinggi, karena telur penyu sangat sensitif terhadap kekeringan. Persentase menetas lebih tinggi di daerah pasir pantai yang dekat dengan daratan dibandingkan dengan daerah pasir pantai yang dekat dengan laut (80 % : 37%) (Syaiful et al., 2013).
3.
Suhu Pasir
Perkembangan suhu secara teratur dan bertahap pada batas-batas suhu 25-35 °C akan menghasilkan laju tetas yang baik dan waktu pengeraman yang relatif singkat. Suhu antara 22-23 °C merupakan batas normal untuk embrionik. Suhu yang diperlukan agar embrio berkembang dengan baik adalah 24-33 °C. Bila suhu di dalam sarang diluar batas suhu tersebut penetasan juga mempengaruhi jenis kelamin tukik yang akan menetas. Bila suhu kurang dari 29 °C, maka sebagian besar adalah tukik jantan. Sebaliknya bila suhu lebih dari 29 °C, maka sebagian besar adalah tukik betina (Yusuf, 2000).
4.
Struktur Pasir
Pasir
merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Penyu akan
memilih daerah tempat bertelur yang sesuai dan aman, tekstur pasir berhubungan
dengan tingkat kemudahan penyu dalam menggali sarang. Pasir pantai harus
memiliki ukuran butir yang sesuai untuk memudahkan sarang dalam kontruksi. Berdasarkan hasil penelitian dari (Zakyah, 2016) menunjukkan struktur
pasir tidak berpengaruh besar terhadap keberhasilan penetasan telur penyu.
Keberhasilan penetasan tertinggi diperoleh dari perlakuan pasir dengan ukuran
butir pasir sedang (0,25-0,5 mm), yaitu sebesar 100%. Diikuti perlakuan pasir
halus (<0,25 mm) sebesar 99%. Keberhasilan penetasan terendah
diperoleh dari perlakuan pasir dengan ukuran butir kasar, yaitu sebesar 97,30%.
5. Lebar Pantai Peneluran
G.L. Shillinger, 2008 |
Lebar
pantai tempat peneluran penyu berkisar 30-80 m. Lebar pantai yang tinggi menyebabkan
jarak sarang yang dibuat oleh penyu agak menjauh dari batas pasang tertinggi.
Meskipun ada lebar pantai yang kurang dari 30 m, namun pada kenyataannya gelombang
air laut pada saat pasang tidak sampai menggenangi daerah tempat sarang penyu, sehingga telur akan tetap aman. Jarak
sarang yang tidak terlalu dekat dengan air laut akan menjauhkan sarang penyu
dari rendaman air laut (Nugroho et al.,
2017).
6. Vegetasi Tumbuhan di Pantai
Sarang peneluran penyu seringkali ditemukan di bawah naungan vegetasi pantai. Vegetasi dianggap menambah keamanan untuk meletakan telur-telurnya agar terhindar dari predator. Keberadaan vegetasi tumbuhan mempengaruhi masa inkubasi telur penyu yang berada di dalam sarang. Masa inkubasi pada lahan yang terbuka memiliki rata-rata inkubasi lebih singkat yaitu selama 48 hari dibandingkan dengan masa inkubasi pada lahan yang tertutupi oleh vegetasi dengan rata-rata masa inkubasi lebih lama yakni 50-52 hari (Nugroho et al., 2017). Vegetasi pantai secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan penyu untuk bertelur. dikarenakan akar vegetasi yang dapat mengikat butiran pasir dan menghindari terjadinya keruntuhan pasir sehingga akan dapat mempermudah penyu dalam melakukan penggaalian dan proses penelurannya (Pradana et al., 2013).
Kesimpulan
Penyu memerlukan tempat lingkungan yang meliputi faktor lingkungan bio-fisik yang baik dan sesuai untuk dijadikan sebagai tempat peneluran penyu seperti mudah dijangkau dari laut, posisi sarang yang cukup tinggi, pasir pantai relatif lepas (loose) dan berukuran sedang, bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik serta pantai yang bersifat landai atau tidak terlalu miring (Satriadi et al., 2003).
Daftar Pustaka
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia:
Gramedia Pustaka Utama
Dharmadi
D, Wiadnyana NN. 2017. Kondisi Habitat dan Kaitannya Dengan Jumlah Penyu Hijau
(Chelonia mydas) yang Bersarang di Pulau Derawan, Berau-Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
14: 195-204
Nugroho
AD, Redjeki S, Taufiq N. 2017. Studi Karakteristik Sarang Semi-Alami Terhadap
Daya Tetas Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Paloh Kalimantan Barat.
Pradana
FA, Said S, Siahaan S. 2013. Habitat Tempat Bertelur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) di Kawasan Taman Wisata Alam Sungai Liku Kabupaten Sambas Kalimantan
Barat. Jurnal hutan lestari 1
Putra
BA, Kushartono EW, Rejeki S. 2014. Studi Karakteristik Biofisik Habitat
Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Paloh, Sambas, Kalimantan
Barat. Journal of Marine Research 3:
173-81
Satriadi
A, Rudiana E, Af-idati N. 2003. Identifikasi Penyu dan Studi Karakteristik Fisik Habitat Penelurannya di Pantai Samas, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ilmu Kelautan 8: 69-75
Zakyah. 2016. PENGARUH STRUKTUR PASIR TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU
(Chelonia mydas L.) DI SUKAMADE TAMAN NASIONAL MERU BETIRI SERTA PEMANFAATANNYA
SEBAGAI BUKU ILMIAH POPULER. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Syaiful
NB, Nurdin J, Zakaria IJ. 2013. Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea Eschscholtz, 1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu
Kota Pariaman. Jurnal Biologi UNAND 2
Yusuf A.
2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alam
Lestari. Jakarta 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar