Sumber: Shutterstock |
Perairan Indonesia merupakan
perairan dengan keragaman jenis penyu yang terdistribusi luas di dalamnya. Dari
7 spesies penyu yang ada di dunia, Indonesia memiliki 6 jenis yang
terdistribusi di perairannya, antara lain Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata), Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea), Penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea), Penyu Tempayan (Caretta-caretta)
dan Penyu Pipih (Natator depressa).
Penyu memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem lautan. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, keberadaan populasi penyu secara global kian menurun bahkan
telah dikategorikan terancam punah.
Secara internasional, penyu masuk ke
dalam daftar merah (Red List) di IUCN
dan Appendix I di CITES yang berarti keberadaannya di alam telah terancam
punah, sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat
perhatian yang serius. Hampir semua jenis penyu pada saat ini dikategorikan
sebagai Endangered Species atau
spesies terancam punah, dengan 3 dari 7 spesies yang telah dikategorikan Critically Endangered atau sangat
terancam punah (IUCN, 2022). Hal tersebut terjadi akibat anthropogenic (aktivitas manusia) hingga faktor alam. Oleh sebab
itu, di Indonesia hewan-hewan yang masuk dalam kategori terancam telah
dilindungi dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan pemerintah
No. 7 dan 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa.
Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan konservasi penyu dengan melakukan kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Selain menetapkan perundang-undangan nasional, upaya perlindungan penyu perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan konservasi di kawasan peneluran dan perairan yang dijadikan habitat oleh penyu. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur sebaiknya segera dilaksanakan dengan cara memberikan pengetahuan teknis mengenai pengelolaan konservasi penyu bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi penyu maupun khalayak umum.
1. Partisipasi Stakeholders
Pembentukan kawasan konservasi penyu
secara langsung maupun tidak langsung sangat membutuhkan peran serta masyarakat
sekitar dan stakeholders lainnya
dalam pengelolaan kawasan tersebut. Adanya pandangan dari para stakeholders sebagai pihak pemangku
kepentingan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan suatu
kawasan konservasi merupakan hal yang krusial dalam menentukan kesuksesan dari
upaya konservasi yang dilakukan (Harteti S et
al, 2014). Stakeholders tersebut
dapat berasal dari seorang perwakilan pemerintah,
masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
perguruan tinggi, yang mana perannya tersebut diklasifikasikan berdasarkan
kegiatan konservasi, yaitu stakeholders perlindungan,
stakeholders pengawetan, dan stakeholders pemanfaatan.
Pola partisipasi stakeholders khususnya keterlibatan
dalam pengambilan keputusan terkait pengawasan dapat dilakukan dengan membentuk
suatu kelompok pengawas masyarakat yang pada pelaksanaannya bekerja sama dengan
pemerintah (pengelola Kawasan Konservasi) untuk melakukan pengawasan di sekitar
kawasan konservasi. Keterlibatan stakeholders
tersebut secara tidak langsung dapat menumbuhkan rasa memiliki dan menjaga
habitat maupun spesies yang menjadi fokus utama pengelolaan kawasan konservasi
tersebut. Suatu proses pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholders dalam penerapan pengelolaan
kawasan konservasi dapat meningkatkan kualitas keputusan yang sah karena setiap
pihak akan merasa bahwa keputusan yang diambil tidak akan merugikan salah satu
pihak (Davis 2008).
Teknis pembinaan habitat penyu
dilakukan langsung pada habitat asli dari penyu tersebut, baik habitat untuk
peneluran, perkawinan, jalur migrasi maupun habitat untuk tempat makan penyu,
dan dapat juga dilakukan pada daerah peneluran yang dibuat khusus bagi populasi
penyu akibat degradasi habitat di daerah aslinya atau mengalami ancaman
terus-menerus yang tidak bisa dihindarkan, seperti daerah peneluran yang rawan
terkena tsunami, serta apabila habitat aslinya sudah tidak aman untuk peneluran
secara alami.
Pembinaan habitat alami penyu difokuskan pada dua sasaran habitat, yaitu habitat daerah peneluran, dan habitat perairan. Perlindungan habitat peneluran penyu meliputi perlindungan penyu dari gangguan manusia, perlindungan telur dari predator dan manusia, perlindungan sarang telur dari gangguan manusia serta gangguan alami, seperti pasang dan arus. Adapun perlindungan habitat perairan dilakukan pada jalur pergerakan dan daerah sumber makanan bagi penyu. Penyu merupakan salah satu hewan yang selalu melakukan migrasi, baik untuk mencari makanan, untuk mencari daerah peneluran maupun untuk perkawinan, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu jalur-jalur migrasi penyu agar pembinaan jalur pergerakan penyu dapat dilakukan dengan efektif sehingga penyu dapat melakukan migrasi dengan aman dan nyaman.
Adapun pada habitat semi alami dilakukan penanganan terhadap sisa-sisa telur yang ditemukan di sepanjang pantai agar telur dapat menetas. Pembinaan ini dilakukan dengan memindahkan sarang telur dari habitat aslinya ke daerah yang terlindungi tetapi dengan kondisi substrat dan lingkungan yang mirip dengan habitat aslinya. Habitat semi alami ini biasanya berada di sekitar stasiun penangkaran penyu, dimana daerah tersebut akan diawasi dan terjaga dari faktor-faktor eksternal yang mengancam kegagalan penetasan telur.
3. Teknis Monitoring Penyu Laut
Kawasan konservasi penyu perlu melakukan monitoring penyu secara berkala guna mengevaluasi tingkat keberhasilan Kawasan konservasi. Monitoring dilakukan secara rutin pada waktu tertentu, periodic dan incidental, tergantung oleh kondisi populasi penyu dan intensitas naiknya penyu pada suatu Kawasan konservasi penyu. Kegiatan monitoring rutin dapat dilakukan di stasiun penangkaran penyu, kegiatan monitoring periodik dapat dilakukan dalam periode tertentu, misalkan setiap minggu atau setiap bulan, sedangkan monitoring insidental dilakukan jika terjadi kasus-kasus tertentu diluar kebiasaan, misalkan adanya pencemaran, bencana alam atau kematian massal.
Kegiatan monitoring juga dapat dilakukan secara langsung maupun dengan bantuan alat, seperti untuk memantau intensitas peneluran dan pertumbuhan dengan bantuan metal tag, dan untuk memantau pola migrasi penyu dengan bantuan tagging satelit. Monitoring penyu dilakukan untuk mendapatkan aspek-aspek seperti monitoring telur beserta sarangnya (dimensi sarang dan lubang bertelur, jumlah telur, dan tingkat penetasan), monitoring terhadap tukik dan kondisi vegetasi pantai peneluran penyu.
Daftar Pustaka
Davis NA. 2008. Evaluating
collaborative fisheries management planning: a Canadian case study. Marine
Policy, 32(6): 867 876
Dermawan, A. 2015. Rencana Aksi
Nasional (RAN) Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman
Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan
Dermawan, Agus et al. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Jakarta:
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI
Harteti S, Basuni S, Masy’ud B, et al. 2014. Peran
Para Pihak Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan (Role of
Stakeholders in the Management of Pangumbahan Turtle Conservation Area). Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(2): 145-162
IUCN.
2022. IUCN Red List of Threatened Species
Tidak ada komentar:
Posting Komentar