Sabtu, 04 Februari 2023

Pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu laut

Sumber: Shutterstock

Perairan Indonesia merupakan perairan dengan keragaman jenis penyu yang terdistribusi luas di dalamnya. Dari 7 spesies penyu yang ada di dunia, Indonesia memiliki 6 jenis yang terdistribusi di perairannya, antara lain Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Tempayan (Caretta-caretta) dan Penyu Pipih (Natator depressa). Penyu memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem lautan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, keberadaan populasi penyu secara global kian menurun bahkan telah dikategorikan terancam punah.

Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (Red List) di IUCN dan Appendix I di CITES yang berarti keberadaannya di alam telah terancam punah, sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian yang serius. Hampir semua jenis penyu pada saat ini dikategorikan sebagai Endangered Species atau spesies terancam punah, dengan 3 dari 7 spesies yang telah dikategorikan Critically Endangered atau sangat terancam punah (IUCN, 2022). Hal tersebut terjadi akibat anthropogenic (aktivitas manusia) hingga faktor alam. Oleh sebab itu, di Indonesia hewan-hewan yang masuk dalam kategori terancam telah dilindungi dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan konservasi penyu dengan melakukan kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Selain menetapkan perundang-undangan nasional, upaya perlindungan penyu perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan konservasi di kawasan peneluran dan perairan yang dijadikan habitat oleh penyu. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur sebaiknya segera dilaksanakan dengan cara memberikan pengetahuan teknis mengenai pengelolaan konservasi penyu bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi penyu maupun khalayak umum.

1. Partisipasi Stakeholders

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Pembentukan kawasan konservasi penyu secara langsung maupun tidak langsung sangat membutuhkan peran serta masyarakat sekitar dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan kawasan tersebut. Adanya pandangan dari para stakeholders sebagai pihak pemangku kepentingan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan suatu kawasan konservasi merupakan hal yang krusial dalam menentukan kesuksesan dari upaya konservasi yang dilakukan (Harteti S et al, 2014). Stakeholders tersebut dapat berasal dari seorang perwakilan pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi, yang mana perannya tersebut diklasifikasikan berdasarkan kegiatan konservasi, yaitu stakeholders perlindungan, stakeholders pengawetan, dan stakeholders pemanfaatan.

Pola partisipasi stakeholders khususnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan terkait pengawasan dapat dilakukan dengan membentuk suatu kelompok pengawas masyarakat yang pada pelaksanaannya bekerja sama dengan pemerintah (pengelola Kawasan Konservasi) untuk melakukan pengawasan di sekitar kawasan konservasi. Keterlibatan stakeholders tersebut secara tidak langsung dapat menumbuhkan rasa memiliki dan menjaga habitat maupun spesies yang menjadi fokus utama pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Suatu proses pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholders dalam penerapan pengelolaan kawasan konservasi dapat meningkatkan kualitas keputusan yang sah karena setiap pihak akan merasa bahwa keputusan yang diambil tidak akan merugikan salah satu pihak (Davis 2008).

 2. Teknis Pembinaan Habitat Penyu

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Teknis pembinaan habitat penyu dilakukan langsung pada habitat asli dari penyu tersebut, baik habitat untuk peneluran, perkawinan, jalur migrasi maupun habitat untuk tempat makan penyu, dan dapat juga dilakukan pada daerah peneluran yang dibuat khusus bagi populasi penyu akibat degradasi habitat di daerah aslinya atau mengalami ancaman terus-menerus yang tidak bisa dihindarkan, seperti daerah peneluran yang rawan terkena tsunami, serta apabila habitat aslinya sudah tidak aman untuk peneluran secara alami.

Pembinaan habitat alami penyu difokuskan pada dua sasaran habitat, yaitu habitat daerah peneluran, dan habitat perairan. Perlindungan habitat peneluran penyu meliputi perlindungan penyu dari gangguan manusia, perlindungan telur dari predator dan manusia, perlindungan sarang telur dari gangguan manusia serta gangguan alami, seperti pasang dan arus. Adapun perlindungan habitat perairan dilakukan pada jalur pergerakan dan daerah sumber makanan bagi penyu. Penyu merupakan salah satu hewan yang selalu melakukan migrasi, baik untuk mencari makanan, untuk mencari daerah peneluran maupun untuk perkawinan, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu jalur-jalur migrasi penyu agar pembinaan jalur pergerakan penyu dapat dilakukan dengan efektif sehingga penyu dapat melakukan migrasi dengan aman dan nyaman.

Adapun pada habitat semi alami dilakukan penanganan terhadap sisa-sisa telur yang ditemukan di sepanjang pantai agar telur dapat menetas. Pembinaan ini dilakukan dengan memindahkan sarang telur dari habitat aslinya ke daerah yang terlindungi tetapi dengan kondisi substrat dan lingkungan yang mirip dengan habitat aslinya. Habitat semi alami ini biasanya berada di sekitar stasiun penangkaran penyu, dimana daerah tersebut akan diawasi dan terjaga dari faktor-faktor eksternal yang mengancam kegagalan penetasan telur.

3. Teknis Monitoring Penyu Laut

Sumber : Dokumentasi Pribadi

    Kawasan konservasi penyu perlu melakukan monitoring penyu secara berkala guna mengevaluasi tingkat keberhasilan Kawasan konservasi. Monitoring dilakukan secara rutin pada waktu tertentu, periodic dan incidental, tergantung oleh kondisi populasi penyu dan intensitas naiknya penyu pada suatu Kawasan konservasi penyu. Kegiatan monitoring rutin dapat dilakukan di stasiun penangkaran penyu, kegiatan monitoring periodik dapat dilakukan dalam periode tertentu, misalkan setiap minggu atau setiap bulan, sedangkan monitoring insidental dilakukan jika terjadi kasus-kasus tertentu diluar kebiasaan, misalkan adanya pencemaran, bencana alam atau kematian massal.

        Kegiatan monitoring juga dapat dilakukan secara langsung maupun dengan bantuan alat, seperti untuk memantau intensitas peneluran dan pertumbuhan dengan bantuan metal tag, dan untuk memantau pola migrasi penyu dengan bantuan tagging satelit. Monitoring penyu dilakukan untuk mendapatkan aspek-aspek seperti monitoring telur beserta sarangnya (dimensi sarang dan lubang bertelur, jumlah telur, dan tingkat penetasan), monitoring terhadap tukik dan kondisi vegetasi pantai peneluran penyu.







Daftar Pustaka

Davis NA. 2008. Evaluating collaborative fisheries management planning: a Canadian case study. Marine Policy, 32(6): 867 876

Dermawan, A. 2015. Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Dermawan, Agus et al. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI

Harteti S, Basuni S, Masy’ud B, et al. 2014. Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan (Role of Stakeholders in the Management of Pangumbahan Turtle Conservation Area). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(2): 145-162

IUCN. 2022. IUCN Red List of Threatened Species


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar