Minggu, 10 Maret 2024

Upacara Adat dan Konservasi Penyu di Pulau Bali

 

 

 

Upacara Adat dan Konservasi Penyu di Pulau Bali

 

 




Pulau bali sangat dikenal dengan dengan adat dan budayanya yang masih kental, masyarakat lokal di Bali pun sangat sering melakukan ritual-ritual atau upacara-upacara adat maupun keagamanaannya. Upacara adat atau keagamaaan di Bali sangat sering melakukan pemberian sesajian. Sesajian adalah makanan yang dihidangkan berupa hewan-hewan seperti anjing, itik, kerbau, babi dan penyu. Di Bali juga ada yang melakukan upacara adat dengan menggunakan daging penyu sebagai sesajiannya, hal ini sangat bertentangan dengan aturan dari pemerintah maupun luar negeri yang sedang mengkampanyekan perlindungan terhadap penyu yang sudah hampir punah. Hal ini juga yang membuat Bali dikenal sebagai tempat pembantaian penyu. Dalam mitologi agama hindu, penyu merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu, yang dimana Wisnu bertugas untuk menolong para dewa dari ancaman roh jahat yang mengganggu ketentraman para dewa. Usaha yang dilakukan yaitu dengan bersatu mencari air amerta atau air kehidupan yang telah hilang, air tersebut ada pada Gunung Mandara. Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk menyangga Gunung Mandara dengan punggungnya karena terlalu berat, dan keluarlah air amerta atau air kehidupan. Maka disebutnya penyu adalah sebagai penyangga kehidupan di Bumi. 

Penyu sendiri adalah hewan penting bagi masyarakat hindu di bali. Pemanfaatan hewan dalam upacara adat berbeda-beda tergantung pada pengetahuan dan tradisi suku yang bersangkutan. Masyrakat Desa Serangan, Denpasar, Bali, memanfaatkan penyu hanya pada saat upacara adat dan upacara agama Hindu. Dengan menggunakan penyu sebagai sesajian karena penyu melambangkan alas bumi, karena bisa hidup di laut maupun di darat. Dalam konsep Hindu-Bali, tidak ada kekejaman  dalam pembunuhan hewan persembahan, melainkan sebagai bentuk kasih sayang. Roh-roh dari hewan yang telah mati disucikan supaya bereinkarnasi menjadi manusia. Jenis upacara yang mengharuskan penggunaan daging penyu sebagai upacara adat yaitu Pedudusan Agung, Ngenteg Linggih, Eka Dasa Rudra, dan Panca Bali Krama yang di dalamnya mempunyai ritual pecaruan agung. Penggunaan penyu dalam upacara adat juga dikarenakan penyu memiliki makna khusus. Banyak masyarakat yang mengkonsumsi penyu, yang membuat timbulnya tuduhan bahwa Bali merupakan pusat pembantaian penyu di Indonesia.

Penyu memiliki umur panjang yang diyakini bahwa penyu dapat hidup seperti manusia atau bahkan lebih. Dapat bermigrasi dalam jarak beratus-ratus atau ribuan kilometer antara daerah tempat makan dan bertelur. Penyu menghabiskan waktunya di laut tetapi akan Kembali ke darat jika induk tersebut ingin bertelur. Induk penyu bertelur dalam siklus 2-4 tahun sekali dan datang ke pantai 4-7 kali untuk meletakkan ratusan butir telurnya dalam satu kali musim bertelur. Setelah 45-60 hari masa inkubasi, tukik akan muncul dari sarangnya dan langsung berlari ke laut untuk memulai kehidupan dengan bergerak mengikuti arus. Para ahli mengatakan bahwa tingkat keberhasilan hidup hingga usia dewasa sangat rendah sekitar 1-2 % dari jumlah telur yang dihasilkan. Penyu di Indonesia menyebar hampir di seluruh pulau-pulau sekitar 143 lokasi yang telah diidentifikasi.

Dengan adanya keberadaan penyu di dalam perairan maupun saat bertelur, hal tersebut banyak mendapatkan ancaman bagi kehidupannya. Ancaman dalam kehidupan penyu digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman dari perbuatan manusia. Ancaman alami bagi kehidupan penyu yaitu perubahan iklim yang dapat menyebabkan permukaan air naik dan terjadi erosi pantai peneluran sehingga mengakibatkan keseimbangan rasio kelamin tukik, predator terhadap tukik yang baru keluar dari sarang (oleh burung elang, babi hutan, anjing liar dan biawak), tukik di laut (oleh ikan cucut), dan pada penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri atau pencemaran lingkungan perairan. Ancaman yang paling besar bagi penyu di Indonesia yaitu pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu ini sering kali diambil telur, daging, kulit, dan cangkangnya, dimana biasanya untuk diperjualkan yang membuat populasi dari penyu berkurang. Jembran sendiri ini merupakan salah satu daerah perdagangan penyu terbesar di Bali selain Denpasar. Daging dan telur penyu adalah komoditas mahal, selain untuk dikonsumsi, bagian karapasnya digunakan sebagai bahan kerajinan.

 

 

Ada beberapa hal pula yang dapat mengancam kehidupan penyu, yaitu:

a)      Pemanasan Global, ancaman ini berdampak akan berdampak pada hilangnya habitat tempat bertelur penyu.

b)      Pencemaran dan penyakit, pencemaran air laut diakibatkan oleh sampah plastic, sampah alat tangkap ikan, tumpahan minyak dan berbagai macam sampah yang berdampak langsung terhadap penyu karena tertelan atau tersangkut. Pencemaran secara kimiawi yang berdampak pada menurunnya tingkat kekebalan tubuh pada penyu yang mudah terserang penyakit, termasuk penyakit Fibropapilloma.

c)      Dampak Industri Perikanan, ancaman ini berdampak pada penyu yaitu mortalitas yang tinggi akibat tertangkap tidak sengaja, rusaknya habitat dan perubahan jaring-jaring makanan.

d)      Perburuan, penyu banyak diburu oleh manusia untuk diambil daging dan telurnya untuk di konsumsi dan dimanfaatkan minyak, kulit juga karapasnya.

e)      Pembangunan daerah pesisir, ancaman ini berdampak pada habitat peneluran penyu yang akan hilang dan rusak karena adanya pembangunan daerah di pesisir. Contohnya pada perubahan vegetasi dan adanya lalu lintas kendaraan di pantai.

Bersamaan dengan meningkatnya eksploitasi penyu, pada tahun 1978 pemerintah Indonesia menghadiri CITES dan menyetujui untuk menghentikan perdagangan penyu laut di dunia internasional. Setelah konferensi, pemerintah mulai mengambil beberapa tindakan secara bertahap untuk melindungi penyu laut, seperti yang diringkas online oleh The Turtle Foundation (2002), yang dijelaskan bahwa:

1)      Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Belimbing

2)      Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980 tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Sisik Semu and Penyu Tempayan

3)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Pasal 21 dan 40)

Setiap orang dilarang untuk:

·         Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan penyu yang dilindungi dalam keadaan hidup.

·         Mengeluarkan penyu yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

·         Memperniagakan,        menyimpan, memiliki (atau mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia) kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain penyu yang dilindungi atau barang- barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut.

·         Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang penyu yang dilindungi.

Pelanggar penyu atau telurnya dapat dikenakan sanksi hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.

4)      Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996 tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Pipih.

5)      Keputusan Menteri Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996 tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Sisik. Masa ini Indonesia adalah satu-satunya negeri di Dunia yang belum melindungi penyu Hijau.

6)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Semua jenis penyu laut, twemasuk penyu hijau di lindung di Indonesia. Mengirim atau mengangkut penyu di dalam atau di luar Indonesia harus mendapat izin dari Menteri.

7)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Barang siapa mengambil penyu atau telur dari habitat alam tanpa izin dapat dihukum denda adminsitrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40 juta dan/atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan.

Undang-undang Indonesia tersebut sering dianggap hanya cara untuk memuaskan kritik pemerhati lingkungan nasional dan internasional. Meskipun demikian jenis penyu yang paling sering diperdagangkan, yaitu Penyu Sisik dan Penyu Hijau, tidak dilindungi sampai tahun 1996 dan tahun 1999. Di tingkat internasional semua jenis penyu telah masuk dalam daftar Appendix 1 CITES pada tahun 1978 yang artinya perdagangan penyu secara internasional telah dilarang.

Pada tahun 1990, sebagai tanggapan atas kampanye Greenpeace “Slaughter in Paradise”, Pemerintah Daerah Bali membatasi pemanfaatan jenis penyu yang belum dilindungi untuk kepentingan adat dan agama maka penjualan barang-barang cinderamata dan masakan di hotel, restoran dan warung yang bahan bakunya dari penyu dilarang. Pada tahun 1991, jumlah penyu yang boleh dibawa ke Bali dibatasi resminya sebanyak 5000 per tahun, izin pemanfaatan penyu harus didapatkan dari BKSDA, dan Tanjung Benoa dijadikan satu- satunya pintu masuk perdagangan penyu. Namun, jumlah penyu yang diperdagangkan setelah tahun 1991 sangat melebihi kuota,  hanya 50 persen saja dari jumlah penyu yang dibawa ke Bali untuk kepentingan adat dan agama.

Pada tahun 2000 Pemerintah Daerah Bali mengeluarkan Surat Keputusan No. 243/2000, yang intinya pemanfaatan penyu di Bali mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 7/1999, yang mana dalam Peraturan Permerintah tersebut dinyatakan bahwa semua jenis penyu laut dilindungi. Lalu, pada tanggal 6 Juli tahun 2001, Wakil Gubernur Bali bertemu dengan masyarakat Tanjung Benoa dan setuju bahwa:

·         Pemakaian penyu diperizinkan hanya untuk upacara menghormati Dewa (disebut Dewa Yadnya) tetapi pemakaian penyu untuk upacara perkawinan, upacara potong gigi dan lain-lain (disebut Manusia Yadnya) harus dikurangi.

·         Jumlah yang benar diperlukan untuk upacara-upacara setahun harus dihitung secara persis kalau ingin mendapatkan surat penghargaan dari Menteri Kehutanan. Pada tanggal 1 Agustus tahun 2001, BKSDA Bali mengeluarkan aturan bagaimana cara surat penghargaan tersebut bisa didapatkan. Menurut aturan tersebut, pemohonan penyu harus dilampirkan kepada Menteri Kehutanan dan juga harus mendapat izin baik dari Kepala Desa Adat maupun Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) atau seorang pendeta yang akan melakukan upacara.

Namun, nelayan penyu yang akan berlayar membawa surat izin yang tak lain hanya di buat oleh Desa Adat Tanjung Benoa saja dimana dituliskan bahwa penyu ditangkap memang untuk upacara. Walaupun tidak ditanda tangani oleh PHDI atau BKSDA, surat itu dianggap sebagai surat izin yang syah jadi perdagangan diteruskan dengan perlindungan dari desa adat yang sangat kuat.

jadi, mari kita bersama-sama selamatkan dan lindungi populasi penyu dengan menunjukkan tanggung jawab kita sebagai manusia. Jaga kebersihan laut dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak berburu penyu, dan tidak dijadikan sebagai konsumsi, karena itu merupakan langkah yang dapat membawa perubahan besar dalam melindungi populasi penyu.


Ditulis Oleh: Keisha Alayya Balqis


DAFTAR PUSTAKA

Dewi, N. K. (2014). Tinjauan Hukum Terkait Perlinndungan Penyu Hijau Sebagai Satwa yang Dilindungi dalam Perdagangan Penyu Ilegal di Jembrana. Program Studi Magister Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.

Suardana, A. A. (2021). Kajian Etnozoologi Karya Agung Pengurip Gumi di Pura Luhur Batukaru, Tabanan, Bali. Program Studi Biologi. Universitas Hindu Indonesia, 168.

Pamri, H. J. (2020, Juli 3). Upacara Adat dan Konservasi Penyu di Kuta dan Tanjung Benoa, Bali. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan. Fakultas Perikanan. Universita Gunung Rinjani, 4.

Purba, A. O. (2021). ANALISIS IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 DALAM PENGAWASAN SUMBER DAYA MARITIM DARI PERSPEKTIF KEAMANAN MARITIM (STUDI KASUS : PENYELUNDUPAN PENYU DI BALI). Jurnal Keamanan Maritim. Program Studi Keamanan Maritim. Fakultas Keamanan Nasional. Universitas Pertahanan, 7.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar