Hai sobat penyu Perkenalkan kami Kelompok Studi Penyu Laut "Chelonia" yang merupakan badan semi otonom di bawah Fakultas Biologi, Universitas Nasional. Kelompok studi ini bergerak di bidang konservasi penyu laut. Terima kasih sudah datang mengunjungi blog kami, semoga dapat menambah pengetahuan kalian tentang penyu laut dari hasil kegiatan kami. Have a good day!
Selasa, 06 Agustus 2024
Minggu, 10 Maret 2024
Upacara Adat dan Konservasi Penyu di Pulau Bali
Upacara Adat dan
Konservasi Penyu di Pulau Bali
Pulau bali sangat dikenal dengan dengan adat dan budayanya yang masih kental, masyarakat lokal di Bali pun sangat sering melakukan ritual-ritual atau upacara-upacara adat maupun keagamanaannya. Upacara adat atau keagamaaan di Bali sangat sering melakukan pemberian sesajian. Sesajian adalah makanan yang dihidangkan berupa hewan-hewan seperti anjing, itik, kerbau, babi dan penyu. Di Bali juga ada yang melakukan upacara adat dengan menggunakan daging penyu sebagai sesajiannya, hal ini sangat bertentangan dengan aturan dari pemerintah maupun luar negeri yang sedang mengkampanyekan perlindungan terhadap penyu yang sudah hampir punah. Hal ini juga yang membuat Bali dikenal sebagai tempat pembantaian penyu. Dalam mitologi agama hindu, penyu merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu, yang dimana Wisnu bertugas untuk menolong para dewa dari ancaman roh jahat yang mengganggu ketentraman para dewa. Usaha yang dilakukan yaitu dengan bersatu mencari air amerta atau air kehidupan yang telah hilang, air tersebut ada pada Gunung Mandara. Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk menyangga Gunung Mandara dengan punggungnya karena terlalu berat, dan keluarlah air amerta atau air kehidupan. Maka disebutnya penyu adalah sebagai penyangga kehidupan di Bumi.
Penyu sendiri adalah
hewan penting bagi masyarakat hindu di bali. Pemanfaatan hewan dalam upacara
adat berbeda-beda tergantung pada pengetahuan dan tradisi suku yang
bersangkutan. Masyrakat Desa Serangan, Denpasar, Bali, memanfaatkan penyu hanya
pada saat upacara adat dan upacara agama Hindu. Dengan menggunakan penyu
sebagai sesajian karena penyu melambangkan alas bumi, karena bisa hidup di laut
maupun di darat. Dalam konsep Hindu-Bali, tidak ada kekejaman dalam pembunuhan hewan persembahan, melainkan
sebagai bentuk kasih sayang. Roh-roh dari hewan yang telah mati disucikan
supaya bereinkarnasi menjadi manusia. Jenis upacara yang mengharuskan
penggunaan daging penyu sebagai upacara adat yaitu Pedudusan Agung, Ngenteg
Linggih, Eka Dasa Rudra, dan Panca Bali Krama yang di dalamnya mempunyai ritual
pecaruan agung. Penggunaan penyu dalam upacara adat juga dikarenakan penyu
memiliki makna khusus. Banyak masyarakat yang mengkonsumsi penyu, yang membuat
timbulnya tuduhan bahwa Bali merupakan pusat pembantaian penyu di Indonesia.
Penyu memiliki umur panjang yang diyakini bahwa penyu dapat hidup seperti manusia atau bahkan lebih. Dapat bermigrasi dalam jarak beratus-ratus atau ribuan kilometer antara daerah tempat makan dan bertelur. Penyu menghabiskan waktunya di laut tetapi akan Kembali ke darat jika induk tersebut ingin bertelur. Induk penyu bertelur dalam siklus 2-4 tahun sekali dan datang ke pantai 4-7 kali untuk meletakkan ratusan butir telurnya dalam satu kali musim bertelur. Setelah 45-60 hari masa inkubasi, tukik akan muncul dari sarangnya dan langsung berlari ke laut untuk memulai kehidupan dengan bergerak mengikuti arus. Para ahli mengatakan bahwa tingkat keberhasilan hidup hingga usia dewasa sangat rendah sekitar 1-2 % dari jumlah telur yang dihasilkan. Penyu di Indonesia menyebar hampir di seluruh pulau-pulau sekitar 143 lokasi yang telah diidentifikasi.
Dengan adanya
keberadaan penyu di dalam perairan maupun saat bertelur, hal tersebut banyak
mendapatkan ancaman bagi kehidupannya. Ancaman dalam kehidupan penyu
digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman dari perbuatan manusia. Ancaman
alami bagi kehidupan penyu yaitu perubahan iklim yang dapat menyebabkan
permukaan air naik dan terjadi erosi pantai peneluran sehingga mengakibatkan
keseimbangan rasio kelamin tukik, predator terhadap tukik yang baru keluar dari
sarang (oleh burung elang, babi hutan, anjing liar dan biawak), tukik di laut
(oleh ikan cucut), dan pada penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri atau
pencemaran lingkungan perairan. Ancaman yang paling besar bagi penyu di
Indonesia yaitu pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi
habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu ini sering kali diambil telur,
daging, kulit, dan cangkangnya, dimana biasanya untuk diperjualkan yang membuat
populasi dari penyu berkurang. Jembran sendiri ini merupakan salah satu daerah
perdagangan penyu terbesar di Bali selain Denpasar. Daging dan telur penyu
adalah komoditas mahal, selain untuk dikonsumsi, bagian karapasnya digunakan
sebagai bahan kerajinan.
Ada beberapa hal pula yang
dapat mengancam kehidupan penyu, yaitu:
a)
Pemanasan Global, ancaman ini berdampak akan berdampak
pada hilangnya habitat tempat bertelur penyu.
b)
Pencemaran dan penyakit, pencemaran air laut
diakibatkan oleh sampah plastic, sampah alat tangkap ikan, tumpahan minyak dan
berbagai macam sampah yang berdampak langsung terhadap penyu karena tertelan
atau tersangkut. Pencemaran secara kimiawi yang berdampak pada menurunnya
tingkat kekebalan tubuh pada penyu yang mudah terserang penyakit, termasuk
penyakit Fibropapilloma.
c)
Dampak Industri Perikanan, ancaman ini berdampak pada
penyu yaitu mortalitas yang tinggi akibat tertangkap tidak sengaja, rusaknya
habitat dan perubahan jaring-jaring makanan.
d)
Perburuan, penyu banyak diburu oleh manusia untuk
diambil daging dan telurnya untuk di konsumsi dan dimanfaatkan minyak, kulit
juga karapasnya.
e) Pembangunan daerah pesisir, ancaman ini berdampak pada habitat peneluran penyu yang akan hilang dan rusak karena adanya pembangunan daerah di pesisir. Contohnya pada perubahan vegetasi dan adanya lalu lintas kendaraan di pantai.
Bersamaan dengan
meningkatnya eksploitasi penyu, pada tahun 1978 pemerintah Indonesia menghadiri
CITES dan menyetujui untuk menghentikan perdagangan penyu laut di dunia
internasional. Setelah konferensi, pemerintah mulai mengambil beberapa tindakan
secara bertahap untuk melindungi penyu laut, seperti yang diringkas online oleh
The Turtle Foundation (2002), yang dijelaskan bahwa:
1)
Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Belimbing
2)
Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Sisik Semu and Penyu Tempayan
3)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5/1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Pasal 21 dan 40)
Setiap orang dilarang
untuk:
·
Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan penyu yang dilindungi dalam keadaan
hidup.
·
Mengeluarkan penyu yang dilindungi dari suatu tempat
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
·
Memperniagakan, menyimpan,
memiliki (atau mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia) kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain penyu yang
dilindungi atau barang- barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut.
· Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang penyu yang dilindungi.
Pelanggar penyu atau
telurnya dapat dikenakan sanksi hukuman penjara paling lama lima tahun dan
denda paling banyak seratus juta rupiah.
4)
Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Pipih.
5)
Keputusan Menteri Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Sisik. Masa ini Indonesia adalah
satu-satunya negeri di Dunia yang belum melindungi penyu Hijau.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Semua jenis penyu laut, twemasuk penyu hijau di lindung di Indonesia. Mengirim atau mengangkut penyu di dalam atau di luar Indonesia harus mendapat izin dari Menteri.
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Barang siapa mengambil penyu atau telur dari habitat alam tanpa izin dapat dihukum denda adminsitrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40 juta dan/atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan.
Undang-undang Indonesia tersebut sering dianggap hanya cara untuk memuaskan kritik pemerhati lingkungan nasional dan internasional. Meskipun demikian jenis penyu yang paling sering diperdagangkan, yaitu Penyu Sisik dan Penyu Hijau, tidak dilindungi sampai tahun 1996 dan tahun 1999. Di tingkat internasional semua jenis penyu telah masuk dalam daftar Appendix 1 CITES pada tahun 1978 yang artinya perdagangan penyu secara internasional telah dilarang.
Pada tahun 1990, sebagai tanggapan atas kampanye Greenpeace “Slaughter in Paradise”, Pemerintah Daerah Bali membatasi pemanfaatan jenis penyu yang belum dilindungi untuk kepentingan adat dan agama maka penjualan barang-barang cinderamata dan masakan di hotel, restoran dan warung yang bahan bakunya dari penyu dilarang. Pada tahun 1991, jumlah penyu yang boleh dibawa ke Bali dibatasi resminya sebanyak 5000 per tahun, izin pemanfaatan penyu harus didapatkan dari BKSDA, dan Tanjung Benoa dijadikan satu- satunya pintu masuk perdagangan penyu. Namun, jumlah penyu yang diperdagangkan setelah tahun 1991 sangat melebihi kuota, hanya 50 persen saja dari jumlah penyu yang dibawa ke Bali untuk kepentingan adat dan agama.
Pada tahun 2000
Pemerintah Daerah Bali mengeluarkan Surat Keputusan No. 243/2000, yang intinya
pemanfaatan penyu di Bali mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 7/1999, yang
mana dalam Peraturan Permerintah tersebut dinyatakan bahwa semua jenis penyu
laut dilindungi. Lalu, pada tanggal 6 Juli tahun 2001, Wakil Gubernur Bali
bertemu dengan masyarakat Tanjung Benoa dan setuju bahwa:
·
Pemakaian penyu diperizinkan hanya untuk upacara
menghormati Dewa (disebut Dewa Yadnya) tetapi pemakaian penyu untuk upacara
perkawinan, upacara potong gigi dan lain-lain (disebut Manusia Yadnya) harus
dikurangi.
· Jumlah yang benar diperlukan untuk upacara-upacara setahun harus dihitung secara persis kalau ingin mendapatkan surat penghargaan dari Menteri Kehutanan. Pada tanggal 1 Agustus tahun 2001, BKSDA Bali mengeluarkan aturan bagaimana cara surat penghargaan tersebut bisa didapatkan. Menurut aturan tersebut, pemohonan penyu harus dilampirkan kepada Menteri Kehutanan dan juga harus mendapat izin baik dari Kepala Desa Adat maupun Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) atau seorang pendeta yang akan melakukan upacara.
Namun, nelayan penyu yang akan berlayar membawa surat izin yang tak lain hanya di buat oleh Desa Adat Tanjung Benoa saja dimana dituliskan bahwa penyu ditangkap memang untuk upacara. Walaupun tidak ditanda tangani oleh PHDI atau BKSDA, surat itu dianggap sebagai surat izin yang syah jadi perdagangan diteruskan dengan perlindungan dari desa adat yang sangat kuat.
jadi, mari kita
bersama-sama selamatkan dan lindungi populasi penyu dengan menunjukkan tanggung
jawab kita sebagai manusia. Jaga kebersihan laut dengan tidak membuang sampah
sembarangan, tidak berburu penyu, dan tidak dijadikan sebagai konsumsi, karena itu
merupakan langkah yang dapat membawa perubahan besar dalam melindungi populasi
penyu.
Ditulis Oleh: Keisha Alayya Balqis
Rabu, 28 Februari 2024
Ancaman Terhadap Telur Penyu
Populasi penyu laut kian terancam, dan bahkan
populasi penyu ini makin lama semakin menurun di alam. Diperkirakan pada saat
ini lebih dari sekitar 7.700 ekor .Selain ancaman kepunahan penyu datang dari
aktivitas manusia ternyata ancaman terhadap penyu yang berasal dari alampun
sangat banyak. Erosi dan aberasi pantai adalah salah satu ancaman terhadap
penyu terutama pada saat akan mendarat bertelur. Sedangkan ancaman alami
lainnya datang dari biawak yang sering memakan telur penyu di pantai, dan kepiting
yang sering memakan anak penyu (tukik). Bahkan setelah dewasapun penyu masih
memiliki musuh alami yaitu pemangsa lainya seperti ikan hiu dan paus. Oleh
karena itu tidak mengherankan bila dari 100 butir telur penyu yang menetas
menjadi tukik, hanya sekitar 2 ekor tukik saja yang dapat tumbuh menjadi dewasa
dan kembali ke pantai tempatnya ditetaskan untuk bertelur. Namun ancaman
terbesar berasal dari manusia dan kegiatan-kegiatannya, termasuk pengambilan
penyu dan telur-telurnya untuk di konsumsi atau cinderamata, degradasi kualitas
tempat bertelur, dan polusi. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, pegambilan penyu
dan telurnya untuk dikonsumsi merupakan ancaman terbesar. Persoalan yang
dihadapi selama ini dihadapi adalah masih banyak masyarakat masih gemar memburu
telur maupun penyunya untuk dikonsumsi. Meskipun sudah ada banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai larangan memperjualbelikan telur penyu tampaknya belum memberikan efek
jera bagi pelaku penjualan telur penyu yang di lindungi. Apabila masih ada pegadang yang kedapatan
menjual telur penyu dan memiliki telur penyu dengan jumlah baik banyak maupun
sedikit maka pihak BKSDA melaporkan temuan dari hasil penyidikan ke pihak
berwajib yaitu Aparat Kepolisian, dan selanjutnya ditindaklanjuti ke jalur
hukum yang berlaku di masyarakat dan negara. terhambatnya penegakan hukum karena banyak
ketidak tahuan masyarakat maupun pedagang yang masih menjajakan telur penyu
hingga saat ini tentang larangan penjualan telur penyu serta tindak kejahatan
yang mereka sendiri tidak tahu bahwa apa yang mereka perbuat adalah suatu
perbuatan melawan hukum, kurangnya pengetahuan serta peringatan-peringatan
tentang larangan penjualan telur penyu inilah yang membuat pedagang masih saja
menjual telur penyu tersebut.
Telur penyu dijual (Sumber:Imam Hanafi (https://kalsel.antaranews.com/berita/11000/telur-penyu-dijual-bebas), 2013)
Masih banyaknya masyarakat yang hingga saat ini masih saja mempercayai
mitos nenek moyang tentang khasiat dan manfaat mengkonsumsi telur penyu yang
dipercaya bisa menyembuhkan beberapa penyakit dan juga stamina bagi yang
mengkonsuminya. Hal ini lah yang membuat penjual telur penyu masih menjajakan
telur dagangannya kepada konsumen serta masyarakat yang masih mempercayai mitos
tersebut, sehingga keharmonisan akan pentingnya menjaga satwa yang dilindungi
dengan peraturan dan kenyataan yang ada di masyarakat belum terlaksana dengan
baik. Para penjual telur penyu juga masih tergiur akan keuntungan besar yang di
dapatkan dari penjualan telur penyu tersebut, 1 Kotak telur penyu yang berisi
15 telur penjual bisa mendapatkan keuntungan 20-30 rb perkotak, pelaku
penjualan telur penyu yang dilindungi ini juga mengambil kesempatan dari
banyaknya permintaan telur penyu dari konsumen yang menkonsumsi telur tersebut,
adanya faktor ekonomi sulit juga menjadi dampak dari masih maraknya penjualan
talur penyu. Faktor budaya juga menjadi penghambat penegakan hukum
terhadap penjual telur penyu, budaya mengkonsumsi telur penyu tak lepas dari mitos
yang beredar di masyarakat dari turuntemurun mitos mengkonsumsi telur penyu
dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti asma. Tampaknya daya
tarik penyu sangat kuat, masyarakat mempercayai penyu yang hidup sampai ratusan
tahun memunculkan berbagai asumsi bahwa ketika mengkonsumsi telurnya bisa
membuat awet muda dan kulit menjadi halus dan sehat tidak cepat tua, rupanya
telur penyu yang memiliki banyak protein dipercaya menyimpan segudang manfaat
baik bagi manusia. Sebagian lainnya terutama bagi para lelaki
penyu di percaya memiliki khasiat baik bagi kesehatan dan memberikan energi dan
kekuatan bagi pria yang menkonsumsinya, sementara itu kajian ilmiah belum bisa
menguatkan asumsi budaya masyarakat yang apabila mengkonsumsi telur penyu
memiliki banyak kemanfaat bagi tubuh manusia apabila di konsumsi.
Upaya
konservasi yang dilakukan untuk melindungi telur penyu dari ancaman atau
predator habitat alami yaitu dilakukan pembuatan sarang semi alami. Tujuan
pembuatan sarang semi alami diantaranya untuk memudahkan pengontrolan,
pengawasan, menghindari penetasan telur dari air laut saat pasang, dan
menghindari gangguan predator alam dan manusia. Induk penyu tidak mengerami
telur, setelah bertelur induk penyu akan segera meninggalkan telur- telurnya di
pantai dan kembali ke laut untuk mencari makan (Lestari et al., 2019).
Keberhasilan penetasan sarang semi alami memiliki daya tetas yang optimal yaitu
mencapai 80%,Oleh karena itu perlu dipelajari aspek ekologi dan biologi
lingkungan penetasan telur penyu untuk memperoleh hasil penetasan yang optimal.
Faktor alam yang mempengaruhi penetasan adalah suhu, kelembaban, jenis pasir,
dan kedalaman sarang (Lestari et. al., 2019). Selain itu, masa inkubasi juga
memengaruhi keberhasilan tetas, morfologi dan fisiologi serta perilaku tukik
yang dihasilkan (Samosir et al., 2018). Pantai peneluran penyu jika dikelola
dengan baik maka dapat menjadi satu sumber peningkatan ekonomi masyarakat
sekitar kawasan (Yulita, M. Y. dan I Made Bayu A, 2018). Sebagai daerah yang
selalu menjadi tempat peneluran penyu. diharapkan kedepannya dapat dijadikan tempat
wisata yang berbasis ekowisata.
Temperatur
yang stabil sangat penting dalam proses penetasan telur penyu sisik, karena
akan mempercepat periode inkubasi atau memperceat proses perkem bangan embrio
di dalam sarang, untuk selanjutnya penetasan akan lebih cepat tercapai. Hal ini
sesuai dengan penelitian Nuitja (1992), yang mendapatkan bahwa pada kedalaman
lebih besar dari 35 dari permukaan pasir fluktuasi atau perbedaan temperaturnya
benar-benar stabil, sehingga memungkinkan telur-telur penyu dapat menetas dalam
persentase tinggi. Kondisi lingkungan yang mempenga ruhi persentase tetas
adalah keadaan pasir. Pasir yang baik memiliki fraksi besar dan tidka padat,
diduga memiliki porositas yang besar mengakibatkan sirkulasi udara yang baik.
Sirkulasi udara yang baik akan memberikan oksigen yang banyak untuk proes
metabolisme di dalam telur. Keadaan sepert ini juga ditemukan oleh Nuitja
(1992), yaitu adanya sirkulasi udara yang baik akan memberikan perkembangan
yang lebih cepat pada embrio dalam telur. Dari aspek vegetasi atau lingkungan.
Vegetasi yang baik merupakan daerah yang memiliki jarak yang cukup jauh dengan
pasang surut air laut, juga bebas dari gangguan predator lain. Faktor lainnya
adalah masa inkubasi dan kedalaman sarang. Sebagaimana yang terlihat pada
penelitian yang dilaporkan oleh Suryaningrat (1995), bahwa adanya pengaruh
kedalaman sarang terhadap masa inkubasi dan persentase tetas telur penyu lekang
(Lepidochelys olivaeae E.). Adanya telur yang hilang atau habis diduga
karena adanya predator alami seperti biawak (Varanus salvator) yang merupakan
faktor biotic yang menggali sarang dan memakan telur penyu.
Telur Penyu menetas( Sumber:Ardian Fanani (https://travel.detik.com), 2017)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi telur dapat menetas dengan jumlah yang banyak maupun gagal
menetas karena pengaruh pasir yang digunakan, pergantian pasir yang digunakan,
dan kedalaman sarang semi alami tersebut. Menurut Limpus (1979), dari ratusan
butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya
belasan penyu yang berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itupun
tidak memperhitungkan faktor perburuan oleh manusia dan predator alaminya
seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu
tukik tersebut menyentuh perairan dalam. Setelah selesai masa bertelur induk akan
kembali ke laut, masa pengeraman telur penyu adalah sekitar 45-60 hari dan suhu
dalam sarang akan menentukan jenis kelamin dari tukik itu sendiri, jadi semakin
rendah suhu yang berada dalam sarang tersebut, maka akan menghasilkan lebih
banyak tukik jantan dan begitupun sebaliknya bila suhu sarang tersebut tinggi
maka tukik yang banyak dihasilkan adalah berkelamin betina. Tukik yang baru
menetas akan mencari jalan ke luar kepermukaan sarang selama 3-7 hari, kemudian
tukik akan ke luar dari sarang pada saat malam hari karena suhu lebih dingin
dan ancaman dari pemangsa sangat sedikit dan tukik akan langsung menuju ke
lautan.
Ditulis oleh : Achmad Alfio Dalish Sumarouw, Dea Pusvitasari, Syiraaz Banafsaj Naca, Lilis Fauziah Agustin, Nanda Eka Prameswara, Indah Dwi Putri Kholipah, Nasya Aliya Anshari
Daftar Pustaka
Manurung, V. R., Barus, E. D. B., Nainggolan,
Y. M., Silalahi, K. D., Rayanti, J. (2023). Karakteristik Habitat Bertelur dan Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea) di Kawasan Konservasi Penyu Pantai Binasi. QUACOASTMARINE:
J.Aquat.Fish.Sci, 2(1) 1–7.
Lasmi., Cahyaningtias. (2021). IDENTIFIKASI ANCAMAN DAN PERAN MASYARAKAT PESISIR
TERHADAP KELESTARIAN PENYU DI PANTAI RIANGDUA KABUPATEN LEMBATA. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Muhammadiyah Kupang.
Nurhayati, A., Herawati, T., Nurruhwati, I., Riyantini, I. (2020). Tanggung Jawab Masyarakat Lokal pada
Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pesisir Selatan Jawa Barat. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat,
Indonesia.
Sumarmin, R., Helendra., Putra, A,
E. (2020). DAYA TETAS TELUR PENYU SISIK
(Eretmochelys imbricata L.) PADA KEDALAMAN SARANG DAN STRATA TUMPUKAN
TELUR BERBEDA. Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Negeri Padang
Ario, R.,
Wibowo, E., Pratikto, I., Fajar, S. (2017). Pelestarian Habitat Penyu Dari
Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC),
Bali. Departement Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro.
Minggu, 28 Januari 2024
Ancaman-Ancaman Dalam Ekosistem Laut Bagi Kehidupan Penyu
72% permukaan bumi terdiri dari
lautan, dimana terdapat ribuan hingga jutaan spesies hewan dan tumbuhan yang
dapat memberikan manfaat kepada manusia, baik itu secara langsung maupun tidak
langsung. Mulai dari krill kecil yang menjadi dasar rantai makanan hingga
mamalia laut berukuran besar seperti paus, semua kehidupan di lautan saling
berhubungan. Beberapa spesies merupakan predator, beberapa spesies lainnya
merupakan mangsa, dan tak sedikit pula termasuk keduanya. Akan tetapi,
keseimbangan harus tetap ada agar keberlangsungan ekosistem laut dapat berjalan
dengan baik.
Demi menjaga keberlangsungan
hidupnya, tiap jenis hewan dan tumbuhan memiliki sebuah strategi yang berbeda
untuk mempertahankan diri di habitatnya. Misalnya suatu bakteri tertentu yang
memanfaatkan tubuh cumi-cumi sebagai substrat agar dirinya mencapai kerapatan
sel yang tinggi untuk memanfaatkan kemampuan bercahaya yang dimilikinya,
sehingga cumi-cumi pun juga dapat menjadikan pancaran cahaya tersebut sebagai strategi
bertahan hidup (Pringgenies D, 2012). Dari Kumparan.com yang melansir dari
Animals Mom Me, beberapa strategi yang umum digunakan hewan untuk bertahan
hidup antara lain mengandalkan ukuran tubuhnya, membentuk koloni, menggunakan
cangkang sebagai rumah, semburan racun, melakukan persembunyian dengan
menirukan tubuhnya menjadi benda-benda laut lainnya, dan masih banyak lagi.
Strategi pertahanan hidup yang telah
dilakukan tidak akan menutup kemungkinan hewan tersebut tidak akan mati. Pola
rantai makanan di laut akan terus berjalan sesuai alurnya agar keseimbangan
ekosistem tidak terganggu atau bahkan terputus. Setiap jenis hewan memiliki
peran dan predatornya masing-masing. hewan besar akan memangsa hewan-hewan
kecil, dan seterusnya.
Pada dasarnya penyu laut adalah
binatang soliter (penyendiri) yang menghabiskan waktu hidupnya dengan menyelam
dan berenang yang membuat agak susah untuk dipelajari. Mereka sangat jarang
berinteraksi antara satu dengan yang lain terkecuali untuk kawin.
Pada kesehariannya penyu laut
dikenal banyak menghabiskan waktunya untuk makan dan istirahat (tidur). Pada
musim bertelurnya terdapat salah satu dari tujuh jenis penyu di dunia yang
memiliki pola teratur antara pantai peneluran dengan daerah karang di laut pada
aktivitas kawin dan makan dari si penyu ini, yaitu Penyu Tempayan (Caretta caretta) yang hal ini
berdasarkan hasil penelitian dari Amerika Serikat. Pada saat tidak memasuki
musim kawin, penyu kemungkinan melakukan migrasi sejauh ratusan hingga ribuan
mil jauhnya. Perilaku unik lainnya dari penyu ini ialah, mereka dapat tidur di
permukaan air laut dan juga di dasar air laut, biasanya pada tukik ditemukan
tidur ialah mengambang pada permukaan air, dengan flipper depan (tangan dayung)
di naikan ke atas karapas mereka.
Ancaman yang dihadapi penyu laut
sangat beragam di dalam ekosistem laut. Baik dari ancaman alami dan ancaman
manusia. Ancaman alami yang mengganggu kehidupan penyu menurut Direktorat
Konservasi Dan Taman Nasional Laut yaitu:
- Pemangsaan tukik, baik pada
tukik yang baru keluar dari sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing
liar, biawak dan burung elang) maupun pada tukik yang ada di laut
(diantaranya oleh Ikan cucut).
Gambar Pemangsaan Tukik oleh Kepiting (Sumber: istockphoto.com
(CMP1975, 2015))
- Pemangsaan penyu dewasa yang
dilakukan oleh predator laut, seperti hiu dan paus orca.
Penyu Dewasa Dimangsa Hiu (Sumber: plimbi.com (2015))
- Penyakit, yang disebabkan oleh
bakteri, virus, atau karena pencemaran lingkungan perairan.
Penyu Terkena Penyakit Fibropapillomatosis (Sumber: YPI, 2019)
- Perubahan iklim, yang
menyebabkan permukaan air laut naik yang mengakibatkan terjadinya erosi
pantai peneluran dan berpengaruh pada perubahan daya tetas dan
keseimbangan pada kelamin tukik.
Gambar Erosi/Abrasi Pantai (Sumber: news.okezone.com (2019))
Sedangkan ancaman yang disebabkan
ulah manusia yang dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:
- Tertangkapnya penyu secara
sengaja atau tidak disengaja dikarenakan aktivitas perikanan dengan alat
tangkap yang beragam.
Penyu Terjerat Jaring Nelayan (Sumber: Rudi (https://ksdae.menlhk.go.id),
2019)
- Penangkapan penyu dewasa yang
dimanfaatkan cangkang, yang digunakan sebagai aksesoris.
Penangkapan Penyu oleh Orang Tidak Bertanggung Jawab
(Sumber: Suriyani LD (https://mongabay.id ), 2017)
- Pengambilan telur penyu yang
dimanfaatkan sebagai sumber protein.
Penyelundupan Telur Penyu (Sumber: Barada UW (https://ksdae.menlhk.go.id/),
2022)
- Pembangunan daerah pesisir,
ancaman ini berdampak pada habitat peneluran penyu yang akan hilang dan
rusak karena adanya pembangunan daerah di pesisir seperti pembangunan
pelabuhan dan bandara, ataupun sarana-prasarana wisata pantai.
Bangunan Ilegal di Pesisir Pantai
(Sumber: Adhitya AA (https://megapolitan.antaranews.com/ ), 2018)
Kondisi ini semakin menurunkan
populasi penyu laut di lingkungan asli mereka. Bila terus dibiarkan,
keunikannya tidak akan tampak lagi. Permasalahan predator alami baik dari predator daratan maupun predator lautan yang
memangsa penyu, telur maupun tukiknya sangat sulit dihindari. Maka dari itu,
kita dapat meminimalisasi hal tersebut yang bertujuan untuk menyelamatkan
populasi penyu dari predator alam (Ridhwan, J. M. 2017).
Kehidupan penyu saat ini terancam punah yang diakibatkan oleh faktor alami ataupun faktor manusia. Ada beberapa hal pula yang berdampak pada ancaman kehidupan penyu, yaitu pada hilangnya habitat tempat bertelur penyu, lalu pada sampah plastic, sampah alat tangkap ikan, tumpahan minyak dan berbagai macam sampah yang berdampak langsung terhadap penyu karena tertelan atau tersangkut, pada penurunan tingkat kekebalan tubuh pada penyu yang mudah terserang penyakit, termasuk penyakit Fibropapilloma, mortalitas yang tinggi akibat tertangkap tidak sengaja, rusaknya habitat dan perubahan jaring-jaring makanan, serta pada habitat peneluran penyu yang akan hilang dan rusak karena adanya pembangunan daerah di pesisir. Contohnya pada perubahan vegetasi dan adanya lalu lintas kendaraan di pantai (Parmi, H. J. 2020).
Ditulis oleh : Muhammad Raul Alfadri Aryyanto, Ahmad Ramadhan Nasution, Hanifah Rifqoh Putri S, Syifa Putri Azzahra, Aida Sayidatunnisa, Keisha Alayya Balqis, Galuh Maryana Putri