KSPL "Chelonia"
Hai sobat penyu Perkenalkan kami Kelompok Studi Penyu Laut "Chelonia" yang merupakan badan semi otonom di bawah Fakultas Biologi, Universitas Nasional. Kelompok studi ini bergerak di bidang konservasi penyu laut. Terima kasih sudah datang mengunjungi blog kami, semoga dapat menambah pengetahuan kalian tentang penyu laut dari hasil kegiatan kami. Have a good day!
Selasa, 06 Agustus 2024
Minggu, 10 Maret 2024
Upacara Adat dan Konservasi Penyu di Pulau Bali
Upacara Adat dan
Konservasi Penyu di Pulau Bali
Pulau bali sangat dikenal dengan dengan adat dan budayanya yang masih kental, masyarakat lokal di Bali pun sangat sering melakukan ritual-ritual atau upacara-upacara adat maupun keagamanaannya. Upacara adat atau keagamaaan di Bali sangat sering melakukan pemberian sesajian. Sesajian adalah makanan yang dihidangkan berupa hewan-hewan seperti anjing, itik, kerbau, babi dan penyu. Di Bali juga ada yang melakukan upacara adat dengan menggunakan daging penyu sebagai sesajiannya, hal ini sangat bertentangan dengan aturan dari pemerintah maupun luar negeri yang sedang mengkampanyekan perlindungan terhadap penyu yang sudah hampir punah. Hal ini juga yang membuat Bali dikenal sebagai tempat pembantaian penyu. Dalam mitologi agama hindu, penyu merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu, yang dimana Wisnu bertugas untuk menolong para dewa dari ancaman roh jahat yang mengganggu ketentraman para dewa. Usaha yang dilakukan yaitu dengan bersatu mencari air amerta atau air kehidupan yang telah hilang, air tersebut ada pada Gunung Mandara. Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk menyangga Gunung Mandara dengan punggungnya karena terlalu berat, dan keluarlah air amerta atau air kehidupan. Maka disebutnya penyu adalah sebagai penyangga kehidupan di Bumi.
Penyu sendiri adalah
hewan penting bagi masyarakat hindu di bali. Pemanfaatan hewan dalam upacara
adat berbeda-beda tergantung pada pengetahuan dan tradisi suku yang
bersangkutan. Masyrakat Desa Serangan, Denpasar, Bali, memanfaatkan penyu hanya
pada saat upacara adat dan upacara agama Hindu. Dengan menggunakan penyu
sebagai sesajian karena penyu melambangkan alas bumi, karena bisa hidup di laut
maupun di darat. Dalam konsep Hindu-Bali, tidak ada kekejaman dalam pembunuhan hewan persembahan, melainkan
sebagai bentuk kasih sayang. Roh-roh dari hewan yang telah mati disucikan
supaya bereinkarnasi menjadi manusia. Jenis upacara yang mengharuskan
penggunaan daging penyu sebagai upacara adat yaitu Pedudusan Agung, Ngenteg
Linggih, Eka Dasa Rudra, dan Panca Bali Krama yang di dalamnya mempunyai ritual
pecaruan agung. Penggunaan penyu dalam upacara adat juga dikarenakan penyu
memiliki makna khusus. Banyak masyarakat yang mengkonsumsi penyu, yang membuat
timbulnya tuduhan bahwa Bali merupakan pusat pembantaian penyu di Indonesia.
Penyu memiliki umur panjang yang diyakini bahwa penyu dapat hidup seperti manusia atau bahkan lebih. Dapat bermigrasi dalam jarak beratus-ratus atau ribuan kilometer antara daerah tempat makan dan bertelur. Penyu menghabiskan waktunya di laut tetapi akan Kembali ke darat jika induk tersebut ingin bertelur. Induk penyu bertelur dalam siklus 2-4 tahun sekali dan datang ke pantai 4-7 kali untuk meletakkan ratusan butir telurnya dalam satu kali musim bertelur. Setelah 45-60 hari masa inkubasi, tukik akan muncul dari sarangnya dan langsung berlari ke laut untuk memulai kehidupan dengan bergerak mengikuti arus. Para ahli mengatakan bahwa tingkat keberhasilan hidup hingga usia dewasa sangat rendah sekitar 1-2 % dari jumlah telur yang dihasilkan. Penyu di Indonesia menyebar hampir di seluruh pulau-pulau sekitar 143 lokasi yang telah diidentifikasi.
Dengan adanya
keberadaan penyu di dalam perairan maupun saat bertelur, hal tersebut banyak
mendapatkan ancaman bagi kehidupannya. Ancaman dalam kehidupan penyu
digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman dari perbuatan manusia. Ancaman
alami bagi kehidupan penyu yaitu perubahan iklim yang dapat menyebabkan
permukaan air naik dan terjadi erosi pantai peneluran sehingga mengakibatkan
keseimbangan rasio kelamin tukik, predator terhadap tukik yang baru keluar dari
sarang (oleh burung elang, babi hutan, anjing liar dan biawak), tukik di laut
(oleh ikan cucut), dan pada penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri atau
pencemaran lingkungan perairan. Ancaman yang paling besar bagi penyu di
Indonesia yaitu pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi
habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu ini sering kali diambil telur,
daging, kulit, dan cangkangnya, dimana biasanya untuk diperjualkan yang membuat
populasi dari penyu berkurang. Jembran sendiri ini merupakan salah satu daerah
perdagangan penyu terbesar di Bali selain Denpasar. Daging dan telur penyu
adalah komoditas mahal, selain untuk dikonsumsi, bagian karapasnya digunakan
sebagai bahan kerajinan.
Ada beberapa hal pula yang
dapat mengancam kehidupan penyu, yaitu:
a)
Pemanasan Global, ancaman ini berdampak akan berdampak
pada hilangnya habitat tempat bertelur penyu.
b)
Pencemaran dan penyakit, pencemaran air laut
diakibatkan oleh sampah plastic, sampah alat tangkap ikan, tumpahan minyak dan
berbagai macam sampah yang berdampak langsung terhadap penyu karena tertelan
atau tersangkut. Pencemaran secara kimiawi yang berdampak pada menurunnya
tingkat kekebalan tubuh pada penyu yang mudah terserang penyakit, termasuk
penyakit Fibropapilloma.
c)
Dampak Industri Perikanan, ancaman ini berdampak pada
penyu yaitu mortalitas yang tinggi akibat tertangkap tidak sengaja, rusaknya
habitat dan perubahan jaring-jaring makanan.
d)
Perburuan, penyu banyak diburu oleh manusia untuk
diambil daging dan telurnya untuk di konsumsi dan dimanfaatkan minyak, kulit
juga karapasnya.
e) Pembangunan daerah pesisir, ancaman ini berdampak pada habitat peneluran penyu yang akan hilang dan rusak karena adanya pembangunan daerah di pesisir. Contohnya pada perubahan vegetasi dan adanya lalu lintas kendaraan di pantai.
Bersamaan dengan
meningkatnya eksploitasi penyu, pada tahun 1978 pemerintah Indonesia menghadiri
CITES dan menyetujui untuk menghentikan perdagangan penyu laut di dunia
internasional. Setelah konferensi, pemerintah mulai mengambil beberapa tindakan
secara bertahap untuk melindungi penyu laut, seperti yang diringkas online oleh
The Turtle Foundation (2002), yang dijelaskan bahwa:
1)
Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Belimbing
2)
Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Sisik Semu and Penyu Tempayan
3)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5/1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Pasal 21 dan 40)
Setiap orang dilarang
untuk:
·
Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan penyu yang dilindungi dalam keadaan
hidup.
·
Mengeluarkan penyu yang dilindungi dari suatu tempat
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
·
Memperniagakan, menyimpan,
memiliki (atau mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia) kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain penyu yang
dilindungi atau barang- barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut.
· Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang penyu yang dilindungi.
Pelanggar penyu atau
telurnya dapat dikenakan sanksi hukuman penjara paling lama lima tahun dan
denda paling banyak seratus juta rupiah.
4)
Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Pipih.
5)
Keputusan Menteri Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996
tentang Status terlindung untuk jenis Penyu Sisik. Masa ini Indonesia adalah
satu-satunya negeri di Dunia yang belum melindungi penyu Hijau.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Semua jenis penyu laut, twemasuk penyu hijau di lindung di Indonesia. Mengirim atau mengangkut penyu di dalam atau di luar Indonesia harus mendapat izin dari Menteri.
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Barang siapa mengambil penyu atau telur dari habitat alam tanpa izin dapat dihukum denda adminsitrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40 juta dan/atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan.
Undang-undang Indonesia tersebut sering dianggap hanya cara untuk memuaskan kritik pemerhati lingkungan nasional dan internasional. Meskipun demikian jenis penyu yang paling sering diperdagangkan, yaitu Penyu Sisik dan Penyu Hijau, tidak dilindungi sampai tahun 1996 dan tahun 1999. Di tingkat internasional semua jenis penyu telah masuk dalam daftar Appendix 1 CITES pada tahun 1978 yang artinya perdagangan penyu secara internasional telah dilarang.
Pada tahun 1990, sebagai tanggapan atas kampanye Greenpeace “Slaughter in Paradise”, Pemerintah Daerah Bali membatasi pemanfaatan jenis penyu yang belum dilindungi untuk kepentingan adat dan agama maka penjualan barang-barang cinderamata dan masakan di hotel, restoran dan warung yang bahan bakunya dari penyu dilarang. Pada tahun 1991, jumlah penyu yang boleh dibawa ke Bali dibatasi resminya sebanyak 5000 per tahun, izin pemanfaatan penyu harus didapatkan dari BKSDA, dan Tanjung Benoa dijadikan satu- satunya pintu masuk perdagangan penyu. Namun, jumlah penyu yang diperdagangkan setelah tahun 1991 sangat melebihi kuota, hanya 50 persen saja dari jumlah penyu yang dibawa ke Bali untuk kepentingan adat dan agama.
Pada tahun 2000
Pemerintah Daerah Bali mengeluarkan Surat Keputusan No. 243/2000, yang intinya
pemanfaatan penyu di Bali mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 7/1999, yang
mana dalam Peraturan Permerintah tersebut dinyatakan bahwa semua jenis penyu
laut dilindungi. Lalu, pada tanggal 6 Juli tahun 2001, Wakil Gubernur Bali
bertemu dengan masyarakat Tanjung Benoa dan setuju bahwa:
·
Pemakaian penyu diperizinkan hanya untuk upacara
menghormati Dewa (disebut Dewa Yadnya) tetapi pemakaian penyu untuk upacara
perkawinan, upacara potong gigi dan lain-lain (disebut Manusia Yadnya) harus
dikurangi.
· Jumlah yang benar diperlukan untuk upacara-upacara setahun harus dihitung secara persis kalau ingin mendapatkan surat penghargaan dari Menteri Kehutanan. Pada tanggal 1 Agustus tahun 2001, BKSDA Bali mengeluarkan aturan bagaimana cara surat penghargaan tersebut bisa didapatkan. Menurut aturan tersebut, pemohonan penyu harus dilampirkan kepada Menteri Kehutanan dan juga harus mendapat izin baik dari Kepala Desa Adat maupun Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) atau seorang pendeta yang akan melakukan upacara.
Namun, nelayan penyu yang akan berlayar membawa surat izin yang tak lain hanya di buat oleh Desa Adat Tanjung Benoa saja dimana dituliskan bahwa penyu ditangkap memang untuk upacara. Walaupun tidak ditanda tangani oleh PHDI atau BKSDA, surat itu dianggap sebagai surat izin yang syah jadi perdagangan diteruskan dengan perlindungan dari desa adat yang sangat kuat.
jadi, mari kita
bersama-sama selamatkan dan lindungi populasi penyu dengan menunjukkan tanggung
jawab kita sebagai manusia. Jaga kebersihan laut dengan tidak membuang sampah
sembarangan, tidak berburu penyu, dan tidak dijadikan sebagai konsumsi, karena itu
merupakan langkah yang dapat membawa perubahan besar dalam melindungi populasi
penyu.
Ditulis Oleh: Keisha Alayya Balqis