Sumber: Animalium.id
Penyu merupakan salah satu hewan reptil yang dapat bermigrasi jarak jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan Asia Tenggara. Tujuan migrasi penyu adalah untuk kawin, mencari lokasi bertelur (breeding ground) maupun untuk mencari makan (Akira et al., 2012). Penyu memiliki peran penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem laut mulai dari memelihara ekosistem terumbu karang produktif hingga mentransfer nutrien-nutrien penting yang berasal dari lautan menuju pesisir pantai (Kurniarum et al., 2015). Namun, berbagai ancaman telah meningkatkan risiko kepunahan bagi makhluk-makhluk yang indah dan penting ini. Meski telah ada peraturan yang melarang perburuan dan konsumsi penyu, masih ada individu yang mengabaikannya, termotivasi oleh kepercayaan tradisional mengenai khasiat daging dan telur penyu (Poti et al., 2021). Perburuan ini, baik untuk konsumsi maupun untuk dijual di pasar gelap, telah menyebabkan penurunan signifikan dalam populasi penyu (Schneider et al., 2011).
Perairan laut Indonesia merupakan
habitat enam jenis penyu dari tujuh jenis yang ada di dunia, dimana semua jenis
penyu masuk ke dalam red list di IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) dan Appendiks I CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti
bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah, sehingga segala bentuk
pemanfaatan dan peredarannya harus dikendalikan (Hartati et al., 2014). Oleh
karena itu Pemerintah Indonesia membuat kebijakan semua jenis penyu di
Indonesia dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar yang berarti segala perdagangan dalam keadaan hidup atau mati
dilarang. Hal ini karena hampir semua spesies penyu yang ada di Indonesia telah
mengalami penurunan populasi sehingga dikategorikan terancam punah (Firliansyah
et al., 2017).
Penyu memiliki peran penting yakni memelihara keseimbangan ekosistem laut mulai dari memelihara ekosistem terumbu karang produktif hingga mentransfer nutrien-nutrien penting yang berasal dari lautan menuju pesisir pantai. Penyu dapat dikatakan hewan reptil purba yang kehidupannya rentan akan gangguan seperti pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu (Samanya, 2017). Manusia telah mengubah bentang Bumi secara dramatis sehingga sebanyak satu juta spesies tumbuhan dan hewan kini terancam punah, menimbulkan ancaman mengerikan bagi ekosistem yang menjadi sandaran hidup manusia di seluruh dunia (Ahmad, 2023).
Pemanasan global menjadi bahan bakar utama dalam menekan penurunan jumlah satwa liar, dengan meningkatkan iklim global di mana banyak mamalia, burung, serangga, ikan, dan tumbuhan berevolusi untuk bertahan hidup. Ketika digabungkan dengan cara lain manusia merusak lingkungan, perubahan iklim mendorong semakin banyak spesies mendekati kepunahan (Ahmad, 2023). Laut mendominasi pembentukan pola cuaca global dan krisis iklim telah menyebabkan perubahan besar dan merusak pola tersebut. Lebih dari 90% kelebihan panas yang terperangkap di atmosfer akan diserap di lautan. Lautan yang lebih panas akan mendorong cuaca ekstrem serta membahayakan kota-kota pesisir (Ahmad, 2023).
Upaya konservasi penyu di Indonesia
telah diatur melalui UU No. 27 Tahun
2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP
No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
dilindungi. Salah satu upaya mengejawantahkan amanat dari Undang-Undang dan
peraturan tersebut adalah dengan membangun stasiun-stasiun pembinaan dan
pelestarian penyu di berbagai wilayah di Indonesia (Ahmad, 2023). Di Indonesia,
beberapa daerah telah berhasil menerapkan prinsip ekoturisme berkelanjutan
dalam upaya konservasi penyu. Sebagai contoh, Bali Sea Turtle Society (BSTS) di
Kuta, Bali, bekerja sama dengan komunitas lokal untuk melindungi sarang penyu
dari ancaman predator dan aktivitas manusia. Program ini melibatkan wisatawan
dalam pelepasan tukik yang telah ditetaskan di pusat konservasi, memberikan
pengalaman edukatif yang mendalam. mengungkapkan bahwa program semacam ini
berhasil meningkatkan populasi penyu lokal, sekaligus memberikan keuntungan ekonomi
bagi masyarakat sekitar. (Uskono, 2022)
Lombok juga merupakan contoh sukses lainnya seperti yang dilakukan di Desa Malaka Kabupaten Lombok Utara. Dengan melakukan peningkatan kesadartahuan masyarakat terhadap hutan pantai melalui kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan dilakukan dengan pendekatan partisipatif menggunakan metode FGD. bertujuan untuk mengatur sistem keruangan di dalam suatu kawasan, sehingga tujuan dari kawasan tersebut dapat tercapai dengan baik. Menurut peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006, tujuan zonasi adalah untuk menciptakan pola pengelolaan yang efektif dan optimal sesuai dengan kondisi dan fungsinya. Pembagian zona dalam suatu kawasan dapat dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. (Syaputra, 2022)
Ditulis oleh: Amanda Jasmine, Farrel Sulthan Syauqi Rabbani, Ikhwal Yafi, dan Talitha Athaillah Sanjaya
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, F. 2023. Penyu yang Terancam.
https://lautsehat.id/flora-fauna/reza/penyu-yang-terancam/
Uskono, F. O. Y., & Sastrawan,
I. G. A. (2022). Pengelolaan Konservasi Penyu Sebagai Daya Tarik Wisata di
Pantai Kuta. Jurnal Destinasi Pariwisata, 10(1), 147-150.
Syaputra, M., Wulandari, F. T.,
Wahyuningsih, E., & Anwar, H. (2022). Peningkatan Kesadartahuan Terhadap
Hutan Pantai Nipah Sebagai Habitat Penyu di Desa Malaka Kabupaten Lombok Utara.
Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 5(4), 452-456.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar