Wilayah
pesisir memiliki potensi pengembangan konservasi penyu hijau (Chelonia mydas).
Tiap tahunnya populasi spesies ini terus menurun, karena faktor alam maupun
faktor kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun
tidak langsung, maka dari itu dikategorikan satwa langka dan dilindungi dalam Red Data Book International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN ) yang termasuk dalam
Appendix I CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species) (Seminoff, 2002). Penyu hijau (Chelonia mydas) termasuk spesies yang
dapat hidup dengan umur panjang namun memiliki masa reproduksi lambat sehingga
laju generasinya tidak sebanding dengan ancaman kepunahan (Mangunjaya, 2008).
Menurut
Cintami (2017) bahwa sumberdaya daerah pesisir terbagi menjadi dua yaitu yang
dapat diperbaharui (renewable resource)
terdiri atas hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut,
sumberdaya perikanan laut serta bahan-bahan bioaktif, sedangkan sumberdaya yang
tidak dapat pulih (non-renewable resource)
terdiri atas seluruh mineral dan geologi. Penyu merupakan hewan yang
berkembangbiak secara ovipar, dengan telur dibenamkan dalam pasir. Sarang
peneluran penyu seringkali dibuat di bawah naungan vegetasi pantai. Secara
biologi, kehadiran penyu ke suatu pantai dipengaruhi oleh kondisi sebaran
ekosistem dan komposisi vegetasi pantai (Marshellyna, 2015).
Untuk mencegah punahnya beberapa spesies organisme di laut, diperlukan upaya konservasi keanekaragaman hayati dalam rangka mengelola interaksi antar gen, spesies, dan ekosistem sehingga diperoleh keuntungan maksimum dan berkelanjutan. Kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Strategi konservasi sumber daya laut yang diterapkan di Indonesia mengacu kepada strategi konservasi sumber daya hayati internasional. Masyarakat pesisir yang banyak berhubungan langsung dengan laut adalah ujung tombak penerapan strategi konservasi tersebut (Nikijuluw, 2002).
Pelletier et al. pada tahun 2005 mengemukakan bahwa kinerja keberhasilan suatu kawasan konservasi dapat diukur dari tiga sudut pandang penting yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Upaya untuk pelestarian dan penyelamatan penyu yang sejalan dengan pembangunan perekonomian masyarakat dapat dilakukan melalui pengembangan ekowisata berbasis konservasi penyu dan melibatkan masyarakat lokal. Kegiatan konservasi tidak dapat berjalan maksimal tanpa peran masyarakat. Peran aktif masyarakat sangat penting dalam menjaga kelestarian biota dan ekosistem perairan.
Peran aktif masyarakat yang
dilakukan untuk melindungi penyu yaitu dengan membangun hubungan kemitraan
dengan masyarakat setempat di antaranya dengan pelibatan masyarakat sekitar
kawasan sejak proses perencanaan hingga tahap pelaksanaan serta monitoring dan
evaluasi (Lasmi dan Cahyaningtias, 2021).Beberapa kegiatan teknis yang dapat
dilakukan oleh komunitas dan masyarakat meliputi: 1) Pemantauan penyu bertelur
dan penetasan telur secara alami, 2) Penangkaran (mulai dari kegiatan
pemindahan telur, penetasan semi alami, hingga pelepasan tukik), 3) Melakukan
monitoring atau pemantauan penyu (meliputi pemantauan terhadap telur dan sarang
telur, tukik dan penyu yang bertelur), 4) Pembinaan habitat (meliputi teknik
pembinaan habitat alami dan teknis pembinaan habitat semi alami), (5) melakukan
sosialisasi kepada masyarakat sekitar untuk menjaga kelestarian penyu dengan
tidak menangkap dan mengambil telur penyu (Lasmi dan Cahyaningtias, 2021).
Sumber Gambar: jogja sorot
Usaha perlindungan penyu terus dilakukan oleh Pemerintah maupun kelompok pemerhati lingkungan. Salah satunya adalah meningkatkan pengawasan terhadap habitat yang sesuai untuk lokasi peneluran dan pengawasan pada penangkapan penyu. Di Indonesia penyu telah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Kelangkaan penyu hijau ditentukan oleh faktor ancaman yang dihadapinya. penyu menggali sarang dan meletakkan telur-telurnya di sebuah pantai berpasir. Pantai berpasir tempat peneluran penyu merupakan inkubator serta memiliki suasana lingkungan yang sesuai bagi perkembangan embrio penyu. Iklim mikro yang sesuai untuk inkubasi telur penyu ditimbulkan dari adanya interaksi antara karakteristik material, penyusun pantai, iklim lokal dan telur-telur dalam sarang (Sugiono 2015).
Pelibatan
masyarakat lokal di daerah yang menjadi habitat penyu sangatlah krusial.
Bagaimanapun, mereka adalah orang-orang yang berinteraksi langsung dengan
habitat tersebut. Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan tentang bagaimana
cara memantau dan melindungi tempat bertelurnya penyu dapat memberikan dampak
signifikan. Melalui pendanaan komunitas, seperti penggalangan dana, masyarakat
dapat memiliki dana khusus untuk kegiatan konservasi. Salah satu strategi
efektif lainnya adalah dengan membentuk kelompok konservasi masyarakat
(Sianipar et al., 2022).
Melalui
kelompok ini, masyarakat dapat mengorganisir diri untuk menjalankan kegiatan
pemantauan, melindungi lokasi peneluran, dan sekaligus menjadi advokat bagi
penyu di tengah-tengah komunitasnya. Kerjasama dengan LSM dan organisasi
lingkungan lainnya akan menambah kekuatan dan sumber daya untuk kelompok ini
(Suryawan & Lee, 2023).Ketika masyarakat memahami nilai dan pentingnya
penyu dalam ekosistem, serta memiliki kemampuan dan sumber daya untuk
melindungi mereka, langkah-langkah konservasi akan menjadi lebih efektif.
Strategi seperti pelibatan masyarakat lokal, pelatihan, ekoturisme berkelanjutan,
dan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk nelayan dan
pemerintah daerah, menunjukkan potensi besar untuk memberikan perlindungan yang
lebih baik bagi penyu. Penerapan teknologi, seperti aplikasi mobile untuk
pemantauan, juga dapat meningkatkan efisiensi dalam melindungi penyu
(Suryawan dan Tehupeiory, 2023).
Ditulis Oleh : Amanda Jasmine, Farrel Sulthan Syauqi Rabbani, Ikhwal Yafi, dan Talitha Athaillah Sanjaya
DAFTAR PUSTAKA
Cintami,
P. T. (2017). Karakteristik Bio-Fisik Habitat Pantai Peneluran Terhadap Tingkat
Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Di Pulau Penyu
Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.
Lasmi
dan Cahyaningtias. (2021). Identifikasi Ancaman Dan Peran Masyarakat Pesisir
Terhadap Kelestarian Penyu Di Pantai Riangdua Kabupaten Lembata. Jurnal Bahari
Papadak, Volume 2 Nomor 2.
Mangunjaya,
F. (2008). Menyelamatkan penyu Indonesia. Tropika Indonesia. Musim Panen 12
(2):8-12
Marshellyna,
F. T. (2015). Karakteristik Kondisi Bio-Fisik Pantai Tempat Peneluran Penyu di
Pulau Mangkai Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau.
Nikijuluw, V.P.H. (2002). Rezim
pengelolaan sumberdaya perikanan. Jakarta: Kerja Sama Pusat Pemberdayaan dan
Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo.
Pelletier,
D., Garcia-Charton, J.A., Ferraris, J., David, G., Thebaud, O., Letourneur, Y.,
Claudet, J., Amand, M., Kulbicki, M., Galzin, R. (2005). Designing indicators
of assessing the effects of marine protected areas on coral reef ecosystems: A
multidisciplinary standpoint. Aquatic Living Resources, 18, 15-33.
Seminoff,
J. A. (2002). Marine Turtle Specialist Global Green Turtle (Chelonia mydas)
assessment for the IUCN Red List Programme. Laporan untuk Species Survival
Commission, Gland, Switzerland.
Sianipar,
I., Tehupeiory, A., Maya, A., Anh huy, H. L., Tuan, H. Q., & Suryawan, I.
W. K. (2022). Human Ecosystem Approach to The Dynamics of Sustainable
Development in Komodo National Park, Indonesia. Journal of Government and Civil
Society, 6, 183–320.
Sugiyono. 2015.
Metode Penelitian Pendidikan.
Alfabeta: Bandung. 311-312.
Suryawan,
I. W. K., & Lee, C.-H. (2023). Citizens’ willingness to pay for adaptive
municipal solid waste management services in Jakarta, Indonesia. Sustainable
Cities and Society, 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar